cosmosteren

ini aselinya bayaran hutang ngga update mau 2 tahun…. aku terinspirasi buat tulisan ini waktu dengar Semua Aku Dirayakan by Nadin Amizah, sekaligus mengobati rasa kangen sekaligus iri liat dua sejoli ini saling jatuh cinta. akan ada banyak tanda tanya yang nantinya akan aku selesain dengan update AU-nya, jadi anggep aja tulisan ini adalah welcome guide sebelum kembali masuk ke hubungan yang seru ini! (lebih ke pusing) hope you guys enjoy it :P

-

Wonwoo tahu dan hafal bagaimana rasanya sepi menggerogoti dirinya dalam sunyi yang hanya ada dirinya disana. Ia digerogoti, dan terdiam. Sepanjang kehidupannya, berpikir bahwa ia pantas untuk menerima semua ini adalah bagian paling menyulitkan batinnya.

Angin sepoi bulan Juni menjadi awal kesibukan kantornya, ia pulang larut, lembur. Wonwoo tidak pulang ke rumah 2 hari berturut-turut. Matanya bergulir pada jarum jam yang menunjukkan pukul 8 kurang, dengan lelah yang mendera tubuhnya dari atas sampai bawah kepalanya mampu membuat Wonwoo duduk lunglai pada kursinya. Matanya terpejam sejenak setelahnya, huft, ia tidak bisa terus melanjutkan hidupnya seperti ini. Berantakan, dan tidak terarah.

Dalam ruangan editor yang hanya ada dirinya disana, kacamatanya sudah menggantung di dekat kerah bajunya. Pada hitungan ke-3 matanya sudah bisa terpejam dan Wonwoo dengan lelah sebesar itu mampu tertidur diatas meja kerjanya sampai besok pagi datang menjemputnya, kalau saja ponsel disampingnya tidak tiba-tiba berdering, menandakan seorang menelponnya.

Dengan nada dering khasnya, Wonwoo tidak perlu menerka siapa yang mendial nomornya kali ni ini. Tanpa basa-basi ia angkat teleponnya tanpa menggerakkan tubuhnya, “Halo.”

“Kamu nggak pulang?”

“Hmm, nggak tau.” Jawabnya singkat. “Lampu rumah nyala nggak?”

“Nyala, kan ada bunda kamu.”

“Yaudah, aku enggak pulang.”

Seusai mulutnya berucap seperti itu, selanjutnya Wonwoo sudah tau apa yang akan diucapkan, diungkit, dan dibicarakan dalam satu tarikan nafas diseberang sana. Wonwoo kamu pasti belum makan, kamu ada gerd, kamu nggak bisa kecapean….

Lalu diakhiri dengan, “Aku udah dibawah, bos, cepet sini.”

Lelakinya yang tidak bisa ditebak selalu bekerja 1000 kali lebih cepat dibanding otaknya.

Yang Wonwoo lakukan selanjutnya adalah dengan segera merapikan segala barangnya, ia akan pulang, ke rumahnya. Wonwoo akan pulang untuk istirahatkan sejenak tubuhnya, pikirannya, juga berbagi banyak ceritanya hari ini. Lift kantor yang sepi, juga lorong yang hanya diterangi remang lampu menemaninya sampai di parkiran.

Yang ditujunya sudah sibuk bolak-balik beri ia lampu dim, seolah lupa bahwa Wonwoo sudah hafal mobil itu sampai ke bagian penyoknya. Sungguh, Mingyu itu memang punya banyak cara aneh yang lucu. Wonwoo berlari kecil saat seorang didalam sana sudah kembali sibuk dadah-dadah lewat jendela mobil yang dibuka. Norak, ejeknya.

Wonwoo buka pintu mobil disamping kemudi dengan ekspetasinya yang bisa langsung dudukan tubuhnya dengan nyaman, bukannya merasakan dengan debaran aneh tatkala matanya malah melihat Mingyu dengan baju santainya kini memegang buket bunga besar kearahnya.

Iya, Mingyu pegang buket bunga.

“Kamu ngapain…?” Wonwoo tidak tahu apakah pertanyaan itu masuk akal bila ditanyakan, tapi otaknya sungguh berhenti sejenak.

Yang ditanya cuma cengar-cengir, “Buat kamu, bos.” Tangan panjangnya menyodorkan buket bunga itu kearah Wonwoo yang masih terdiam didepan pintu, lebih anehnya dia terima saja lagi. “Wih, bunganya lebih cakep kalau kamu yang pegang ternyata.”

Mingyu mengeluarkan ponselnya, dan lantas mengambil gambar dirinya yang masih setengah tidak sadar. Wonwoo yakin 100% mukanya terlihat bodoh di foto itu. Mingyu juga anehnya baru sadar kalau pacarnya itu masih terkejut dengan segala hal yang tiba-tiba itu.

“Kamu kok enggak naik si?” Begitu lantas pertanyaanya.

“Aku bingung.”

“Kenapa bingung?”

“Emang hari ini tanggal 17 Juli ya?”

“Sekarang masih Mei, sayang.”

“Terus kenapa kamu kasih aku bunga? Kan aku enggak ulang tahun? Anniversary kita juga masih lama?”

“Buset, banyak banget itu pertanyaannya, bisa dijawab nanti gak kalau kamu udah masuk dan duduk disamping aku?”

Karena lantas menyadari perbuatannya yang sedikit bodoh, Wonwoo langsung ambil posisi paling nyaman dan peluk buket bunga itu dalam pangkuannya.

“Sekarang jawab.”

“Pake dulu seatbeltnya, bos.”

“Tapi abis ini kamu jawab, ya.”

“Iya napa, kaya punya trust issue gede aja ini.”

“Emang.”

“Bjir.”

Sudah begitu pun, Mingyu masih cekikikan, tidak mau jawab pertanyaanya.

Masih kekeh tidak mau jawab, Mingyu kini malah keluarkan satu kotak bekal, yang waktu dibuka rupanya isi kotak itu adalah bento alakadarnya. Nasi yang dikepal-kepal asal hingga berbentuk kucing yang kumisnya dibuat dari nori yang asimetris, juga….kupingnya yang terbuat dari jamur? Karena terlupa akan pertanyaannya tadi, Wonwoo gantian menggelakan tawanya. Ia tahu persis, itu pasti buatan Mingyu!

“Woi, ini aku balikin bento nasi bentuk anjing yang kamu kasih ke aku hari senin.” Pacarnya sudah siap-siap menekuk bibirnya kebawah, memang tipikal dramatis, sih.

“Muka kucingnya bloon banget.” Sudah tahu begitu pun, Wonwoo masih tertawa sampai air matanya keluar.

Oh, tentu saja, aries satu itu sudah menekuk bibirnya, cemberut. Nasi kucing bloon itu, sudah dicampur-campur sampai tidak terbentuk. Wonwoo yang lihat sedikit kecewa, “Eh aku belum foto muka kucing bloonnya!” Dengan tawanya yang tidak mau berhenti.

“Besok-besok aku engga mau masak ginian lagi, langsung aku bawain tumpeng aja.”

“Ih ngambek.”

“Enggak ya,” oh, rupanya benar ngambek… “Sini buka mulutnya, aku suapin biar kamu makan.” Satu suapan tiba-tiba saja diberi Mingyu didepan mulutnya yang ia terima dengan baik.

Satu kecapan. Dua kecapan.

“Wow, ini perkedel Ibu, ya?”

“Iya, bos. Mantap, kan? Aku udah habis satu piring tadi.”

Wonwoo cuma mengangguk, sampai ia lagi dan lagi disuapi Mingyu.

“Terus bagian mana yang kamu masak?”

Sorry ya mengecewakan, tapi aku team menghias aja.”

“Oh, pantes bener bentuk kucingnya bloon banget.”

Tawanya masih lanjut sampai perutnya sakit, Mingyu juga tidak mengelak lagi, ia cuma ngambek sedikit. Mungkin dalam hatinya diam-diam setuju kalau kucing buatannya itu sedikit jelek. Tapi sedikit, ya.

“Makan kaya anak kecil banget, ih.” Mingyu mengusap dengan baik bibir Wonwoo menggunakan tisu saat makanan dalam kotak bekal itu habis dalam waktu kurang dari 5 menit. Wonwoo senyum-senyum, dikitnya karena masih teringat kucing buatan Mingyu, banyaknya karena Mingyu ternyata adalah rumah pulang terbaiknya.

“Makasih ya, Mingyu.”

“Iya, sayanggggg. Terima kasih kembali.”

“Makanannya enak kok, aku kenyang, dan happy.”

“Seneng aja apa seneng banget?”

Wonwoo mencubit perut Mingyu usil.

“Seneng banget, lah. Aku dijemput pacar aku, terus disuapin bekal, habis itu dikasih bunga ini.”

Mingyu tersenyum, ia miringkan tubuhnya agar hadap kearah Wonwoo. “Kamu tahu engga kenapa aku kasih kamu bunga?”

“Ada sesuatu yang aku lewatin..???”

“Enggak, sayang.”

“Terus?”

“Soalnya bunga-bunga itu cantik kalau dipegang kamu.” Mingyu tersenyum sembari memegang tangannya, mengusapnya penuh kasih sayang. “Dari kemarin aku sibuk perhatiin bunga itu tiap pulang kantor, aku tanya-tanya bapaknya, “Pak, ini namanya bunga apa? Artinya apa? Bapaknya siapa? Ibunya siapa? Alamatnya dimana? Pakai bibit apa?” sampai kesampean ngopi bareng. Terus aku beli deh hari ini. Sekalian aja, soalnya aku mau ngerayain malem ini ternyata kamu masih sama cintanya ke aku kaya kemarin.”

Selama beberapa tahun kebelakang, Wonwoo tidak pernah menganggap cinta sebagai kebutuhan yang utuh. Yang ia tahu cinta hanyalah hal abstrak yang buatnya menghabiskan waktunya jadi sia-sia. Yang Wonwoo remaja tahu kala itu hanyalah eksistensi Mingyu yang selalu menjadi pilar dalam kehidupannya. Bahwa ia percayakan segala hal dalam dirinya kepada bocah ingusan 18 tahun yang baru saja dapat SIM motornya.

Wonwoo akan selalu mempercayai Mingyunya sebanyak ia memohon dalam tiap malamnya agar beri ia satu hari esok agar tetap bersama Mingyunya. Wonwoo yang pegang kendali atas dirinya sendiri, untuk mencintai dan dicintai sebegitu dalamnya oleh Mingyu adalah hal lainnya yang tidak dipertanyakan. Ia akan selalu mencintainya, ia akan selalu mempercayainya lebih dari apapun didunia ini.

“Makasih, ya.”

“Iya, Wonwooku.”

Satu pelukan hangat datang kembali ke relungnya yang kedinginan, yang penuh kesedihan. Ia takut dicintai sebanyak ini, tapi Mingyu buktikan bahwa ia mampu dan pantas untuk banyak dicintai sebanyak ini.

Wonwoo akan selalu menangis, akan selalu marah, akan selalu tertawa, akan selalu bagi dua bebannya dalam pundak Mingyu. Sebegitu cintanya ia, hingga Wonwoo tidak lagi pedulikan banyak hal lain disekitarnya.

Mingyu akan selalu merayakannya. Setiap langkah kecil kakinya, Mingyu akan rayakan untuknya. Hingga Wonwoo merasa bahwa ia pantas dicintai sebegitu banyaknya.

“Makasih ya, Mingyu. Makasih.”

“Makasih mulu kaya sales mobil.”

“Hoi, ganggu moment romantis aja!”

“Iya, maaf….. Habis kalau kaya gini selanjutnya kamu bakal feeling unwhorty….”

“Ngapain? Kan aku punya kamuuuu.”

“AAAAA SERIUS INI AKU DIGOMBALIN???”

Wonwoo hanya mau Mingyu tahu, bahwa ia akan selalu mencintainya, dua kali lipat lebih banyak dibandingkan yang lainnya.

ini aselinya bayaran hutang ngga update mau 2 tahun…. aku terinspirasi buat tulisan ini waktu dengar Semua Aku Dirayakan by Nadin Amizah, sekaligus mengobati rasa kangen sekaligus iri liat dua sejoli ini saling jatuh cinta. akan ada banyak tanda tanya yang nantinya akan aku selesain dengan update AU-nya, jadi anggep aja tulisan ini adalah welcome guide sebelum kembali masuk ke hubungan yang seru ini! (lebih ke pusing) hope you guys enjoy it :P

-

Wonwoo tahu dan hafal bagaimana rasanya sepi menggerogoti dirinya dalam sunyi yang hanya ada dirinya disana. Ia digerogoti, dan terdiam. Sepanjang kehidupannya, berpikir bahwa ia pantas untuk menerima semua ini adalah bagian paling menyulitkan batinnya.

Angin sepoi bulan Juni menjadi awal kesibukan kantornya, ia pulang larut, lembur. Wonwoo tidak pulang ke rumah 2 hari berturut-turut. Matanya bergulir pada jarum jam yang menunjukkan pukul 8 kurang, dengan lelah yang mendera tubuhnya dari atas sampai bawah kepalanya mampu membuat Wonwoo duduk lunglai pada kursinya. Matanya terpejam sejenak setelahnya, huft, ia tidak bisa terus melanjutkan hidupnya seperti ini. Berantakan, dan tidak terarah.

Dalam ruangan editor yang hanya ada dirinya disana, kacamatanya sudah menggantung di dekat kerah bajunya. Pada hitungan ke-3 matanya sudah bisa terpejam dan Wonwoo dengan lelah sebesar itu mampu tertidur diatas meja kerjanya sampai besok pagi datang menjemputnya, kalau saja ponsel disampingnya tidak tiba-tiba berdering, menandakan seorang menelponnya.

Dengan nada dering khasnya, Wonwoo tidak perlu menerka siapa yang mendial nomornya kali ni ini. Tanpa basa-basi ia angkat teleponnya tanpa menggerakkan tubuhnya, “Halo.”

“Kamu nggak pulang?”

“Hmm, nggak tau.” Jawabnya singkat. “Lampu rumah nyala nggak?”

“Nyala, kan ada bunda kamu.”

“Yaudah, aku enggak pulang.”

Seusai mulutnya berucap seperti itu, selanjutnya Wonwoo sudah tau apa yang akan diucapkan, diungkit, dan dibicarakan dalam satu tarikan nafas diseberang sana. Wonwoo kamu pasti belum makan, kamu ada gerd, kamu nggak bisa kecapean….

Lalu diakhiri dengan, “Aku udah dibawah, bos, cepet sini.”

Lelakinya yang tidak bisa ditebak selalu bekerja 1000 kali lebih cepat dibanding otaknya.

Yang Wonwoo lakukan selanjutnya adalah dengan segera merapikan segala barangnya, ia akan pulang, ke rumahnya. Wonwoo akan pulang untuk istirahatkan sejenak tubuhnya, pikirannya, juga berbagi banyak ceritanya hari ini. Lift kantor yang sepi, juga lorong yang hanya diterangi remang lampu menemaninya sampai di parkiran.

Yang ditujunya sudah sibuk bolak-balik beri ia lampu dim, seolah lupa bahwa Wonwoo sudah hafal mobil itu sampai ke bagian penyoknya. Sungguh, Mingyu itu memang punya banyak cara aneh yang lucu. Wonwoo berlari kecil saat seorang didalam sana sudah kembali sibuk dadah-dadah lewat jendela mobil yang dibuka. Norak, ejeknya.

Wonwoo buka pintu mobil disamping kemudi dengan ekspetasinya yang bisa langsung dudukan tubuhnya dengan nyaman, bukannya merasakan dengan debaran aneh tatkala matanya malah melihat Mingyu dengan baju santainya kini memegang buket bunga besar kearahnya.

Iya, Mingyu pegang buket bunga.

“Kamu ngapain…?” Wonwoo tidak tahu apakah pertanyaan itu masuk akal bila ditanyakan, tapi otaknya sungguh berhenti sejenak.

Yang ditanya cuma cengar-cengir, “Buat kamu, bos.” Tangan panjangnya menyodorkan buket bunga itu kearah Wonwoo yang masih terdiam didepan pintu, lebih anehnya dia terima saja lagi. “Wih, bunganya lebih cakep kalau kamu yang pegang ternyata.”

Mingyu mengeluarkan ponselnya, dan lantas mengambil gambar dirinya yang masih setengah tidak sadar. Wonwoo yakin 100% mukanya terlihat bodoh di foto itu. Mingyu juga anehnya baru sadar kalau pacarnya itu masih terkejut dengan segala hal yang tiba-tiba itu.

“Kamu kok enggak naik si?” Begitu lantas pertanyaanya.

“Aku bingung.”

“Kenapa bingung?”

“Emang hari ini tanggal 17 Juli ya?”

“Sekarang masih Mei, sayang.”

“Terus kenapa kamu kasih aku bunga? Kan aku enggak ulang tahun? Anniversary kita juga masih lama?”

“Buset, banyak banget itu pertanyaannya, bisa dijawab nanti gak kalau kamu udah masuk dan duduk disamping aku?”

Karena lantas menyadari perbuatannya yang sedikit bodoh, Wonwoo langsung ambil posisi paling nyaman dan peluk buket bunga itu dalam pangkuannya.

“Sekarang jawab.”

“Pake dulu seatbeltnya, bos.”

“Tapi abis ini kamu jawab, ya.”

“Iya napa, kaya punya trust issue gede aja ini.”

“Emang.”

“Bjir.”

Sudah begitu pun, Mingyu masih cekikikan, tidak mau jawab pertanyaanya.

Masih kekeh tidak mau jawab, Mingyu kini malah keluarkan satu kotak bekal, yang waktu dibuka rupanya isi kotak itu adalah bento alakadarnya. Nasi yang dikepal-kepal asal hingga berbentuk kucing yang kumisnya dibuat dari nori yang asimetris, juga….kupingnya yang terbuat dari jamur? Karena terlupa akan pertanyaannya tadi, Wonwoo gantian menggelakan tawanya. Ia tahu persis, itu pasti buatan Mingyu!

“Woi, ini aku balikin bento nasi bentuk anjing yang kamu kasih ke aku hari senin.” Pacarnya sudah siap-siap menekuk bibirnya kebawah, memang tipikal dramatis, sih.

“Muka kucingnya bloon banget.” Sudah tahu begitu pun, Wonwoo masih tertawa sampai air matanya keluar.

Oh, tentu saja, aries satu itu sudah menekuk bibirnya, cemberut. Nasi kucing bloon itu, sudah dicampur-campur sampai tidak terbentuk. Wonwoo yang lihat sedikit kecewa, “Eh aku belum foto muka kucing bloonnya!” Dengan tawanya yang tidak mau berhenti.

“Besok-besok aku engga mau masak ginian lagi, langsung aku bawain tumpeng aja.”

“Ih ngambek.”

“Enggak ya,” oh, rupanya benar ngambek… “Sini buka mulutnya, aku suapin biar kamu makan.” Satu suapan tiba-tiba saja diberi Mingyu didepan mulutnya yang ia terima dengan baik.

Satu kecapan. Dua kecapan.

“Wow, ini perkedel Ibu, ya?”

“Iya, bos. Mantap, kan? Aku udah habis satu piring tadi.”

Wonwoo cuma mengangguk, sampai ia lagi dan lagi disuapi Mingyu.

“Terus bagian mana yang kamu masak?”

Sorry ya mengecewakan, tapi aku team menghias aja.”

“Oh, pantes bener bentuk kucingnya bloon banget.”

Tawanya masih lanjut sampai perutnya sakit, Mingyu juga tidak mengelak lagi, ia cuma ngambek sedikit. Mungkin dalam hatinya diam-diam setuju kalau kucing buatannya itu sedikit jelek. Tapi sedikit, ya.

“Makan kaya anak kecil banget, ih.” Mingyu mengusap dengan baik bibir Wonwoo menggunakan tisu saat makanan dalam kotak bekal itu habis dalam waktu kurang dari 5 menit. Wonwoo senyum-senyum, dikitnya karena masih teringat kucing buatan Mingyu, banyaknya karena Mingyu ternyata adalah rumah pulang terbaiknya.

“Makasih ya, Mingyu.”

“Iya, sayanggggg. Terima kasih kembali.”

“Makanannya enak kok, aku kenyang, dan happy.”

“Seneng aja apa seneng banget?”

Wonwoo mencubit perut Mingyu usil.

“Seneng banget, lah. Aku dijemput pacar aku, terus disuapin bekal, habis itu dikasih bunga ini.”

Mingyu tersenyum, ia miringkan tubuhnya agar hadap kearah Wonwoo. “Kamu tahu engga kenapa aku kasih kamu bunga?”

“Ada perayaan yang aku lewatin..???”

“Enggak, sayang.”

“Terus?”

“Soalnya bunga-bunga itu cantik kalau dipegang kamu.” Mingyu tersenyum sembari memegang tangannya, mengusapnya penuh kasih sayang. “Dari kemarin aku sibuk perhatiin bunga itu tiap pulang kantor, aku tanya-tanya bapaknya, “Pak, ini namanya bunga apa? Artinya apa?” sampai kesampean ngopi bareng. Terus aku beli deh hari ini. Sekalian aja, karena aku mau ngerayain malem ini ternyata kamu masih sama cintanya ke aku kaya kemarin.”

Selama beberapa tahun kebelakang, Wonwoo tidak pernah menganggap cinta sebagai kebutuhan yang utuh. Yang ia tahu cinta hanyalah hal abstrak yang buatnya menghabiskan waktunya jadi sia-sia. Yang Wonwoo remaja tahu kala itu hanyalah eksistensi Mingyu yang selalu menjadi pilar dalam kehidupannya. Bahwa ia percayakan segala hal dalam dirinya kepada bocah ingusan 18 tahun yang baru saja dapat SIM motornya.

Wonwoo akan selalu mempercayai Mingyunya sebanyak ia memohon dalam tiap malamnya agar beri ia satu hari esok agar tetap bersama Mingyunya. Wonwoo yang pegang kendali atas dirinya sendiri, untuk mencintai dan dicintai sebegitu dalamnya oleh Mingyu adalah hal lainnya yang tidak dipertanyakan. Ia akan selalu mencintainya, ia akan selalu mempercayainya lebih dari apapun didunia ini.

“Makasih, ya.”

“Iya, Wonwooku.”

Satu pelukan hangat datang kembali ke relungnya yang kedinginan, yang penuh kesedihan. Ia takut dicintai sebanyak ini, tapi Mingyu buktikan bahwa ia mampu dan pantas untuk banyak dicintai sebanyak ini.

Wonwoo akan selalu menangis, akan selalu marah, akan selalu tertawa, akan selalu bagi dua bebannya dalam pundak Mingyu. Sebegitu cintanya ia, hingga Wonwoo tidak lagi pedulikan banyak hal lain disekitarnya.

Mingyu akan selalu merayakannya. Setiap langkah kecil kakinya, Mingyu akan rayakan untuknya. Hingga Wonwoo merasa bahwa ia pantas dicintai sebegitu banyaknya.

“Makasih ya, Mingyu. Makasih.”

“Makasih mulu kaya sales mobil.”

“Hoi, ganggu moment romantis aja!”

“Iya, maaf….. Habis kalau kaya gini selanjutnya kamu bakal feeling unwhorty….”

“Ngapain? Kan aku punya kamuuuu.”

“AAAAA SERIUS INI AKU DIGOMBALIN???”

Wonwoo akan selalu mencintai Mingyunya, dua kali lipat lebih banyak dibanding siapapun yang mencintai Mingyunya.

-

Dari raut wajahnya Wonwoo yakin 100% kalau ini adalah kali pertamanya Mingyu masuk keruang Bimbingan Konseling. Ruangan 4x4 meter itu kerasa sesak tiba-tiba waktu Mingyu ikutan duduk disamping kanannya. Haduh, Wonwoo sedikit mabuk kepayang waktu wangi parfume Mingyu yang tahan seminggu itu menggelitik jalur napasnya. Nggak tahu aja Mingyu kalau Wonwoo sebenernya nggak takut duduk diruang Bimbingan Konseling, karena ini bukan kali pertamanya. Di semester ini aja, ini udah kali ke-3 nya dia masuk ruang konseling.

Jadi pikiran Mingyu yang cemas sebelumnya, sebaiknya segera dilupakan aja deh, karena nyatanya Wonwoo jauh lebih baik dibanding siapapun yang ada diruang Bimbingan Konseling hari itu.

“Mingyu kamu kenal Wonwoo, ya?”

Harap-harap cemas sedikit takut Mingyu enggak mau mengakui hubungan mereka tiba-tiba terlintas dikit di benak Wonwoo. Dipikir-pikir hubungan apa coba yang buat dia cemas? Teman aja bukan, kali.

“Iya, Bu.”

“Kalau Jihoon, kenal?” Pertanyaan kedua kembali dilayangkan kearah Mingyu seolah eksistensi Wonwoo dan Jihoon yang sebelumnya diomelin itu tiba-tiba menghilang.

“Kenal juga, Bu.”

Aduh, Mingyu kayanya tipe orang yang akan jawab iya iya saja waktu ditanya apapun.

Wonwoo masih diam aja disana, Jihoon juga. Karena sama-sama tahu Bu Nia itu galak, jadinya diam adalah solusi dan jalan terakhir kalau berhadapan sama Beliau. Wonwoo senang sedikit karena semenjak Mingyu ada disana, ngebuat dia bisa curi-curi pandang ngeliat calon pacarnya dari arah samping, yang nyatanya.... masih tetap tampan.

Dia terdiam, sampai-sampai yang lihat juga jadi kebingungan.

“Wonwoo kamu dekat ya sama Mingyu?”

“Iya, Bu.”

Hening.....

“Kalau gitu berarti kamu suka sama Mingyu?”

“Iya, Bu.”

Udah tau jawabannya melantur pun, si empu tetap santai saja. Cuma karena pada dasarnya Jihoon ada pada pihak yang beda dengan Wonwoo, jadilah kaki kanannya diinjak kencang. “AWWW!” teriakannya terdengar sampai Bu Nia dihadapannya terkejut. Jihoon disampingnya cuma hihi hehe biar enggak ketahuan.

Wonwoo mau balaspun jadi mikir dua kali, dihadapannya itu kini ada guru konseling yang galak, dan yang kedua ada Mingyu disampingnya. Begitu saja, sih. Raut wajahnya yang kesakitan langsung diubah cepat-cepat menjadi raut datarnya.

“Nggak apa-apa?” Mingyu disampingnya berbisik kecil, yang dijawab seadanya sama dia. Kepalanya ngangguk, terus tangannya ngenbentuk gesture Ok yang nandain kalau dia baik-baik aja.

Awas aja si INUY.

Bimbingan Konseling baru dimulai sesaat Wonwoo dan Jihoon akhirnya tidak mau saling kalah saat berbicara. Wonwoo memojokkan Jihoon, sedangkan Jihoon juga ngelakuin hal yang sama. Mingyu disampingnya udah siap pasang raut wajah tidak terduga, Wonwoo yakin dia sedikit banyak stress mendengar pembicaraan kali ini.

Terakhir sebelum berdamai, Wonwoo sama Jihoon dipaksa jabat tangan, berjanji nggak akan berantem lagi habis ini dan fokus ke olimpiade sains yang udah didepan mata. Udah sih gitu aja.... Wonwoo sebenernya ngerasa dia balik lagi ke SD yang tiap berantem dia bakal dipanggil gurunya terus diminta salaman buat damai.

Yaudah lah, yang penting Bu Nia tahunya dia dan Jihoon berantem karena persiapan olimpiade, bukan karena ngerebutin cowo yang posisinya ada disitu juga. Yang pasti kalau sampai ketahuan, Wonwoo bakal abadi pasang masker diwajahnya selama Sekolah.

Seusai itu, tadinya Wonwoo udah punya 1000 ide licik buat usilin Jihoon. Tadinya mau begitu, tapi begitu keluar ruang Konseling, Wonwoo langsung berhadapan Rowoon yang lagi ngobrol sama Eunwoo. Bayangin dua temennya itu berdiri dengan tinggi yang menjulangnya, terus dibelakangnya masih ada Mingyu.

Situasi aneh apa lagi coba ini.....

Waktu otaknya masih ngeproses hal-hal aneh yang ada didepannya, Jihoon tiba-tiba udah ilang aja dari matanya. Duelnya berarti lanjut kapan-kapan, tunggu part 2. Yang pasti Wonwoo yang menang lain kali!

Rowoon didepannya udah gerakin kepala heran, Eunwoo masih sama pakai inhalernya yang dramatis banget itu. Wonwoo cuma bengong, ekspresinya ketara banget cuma dia kan ganteng, jadinya nggak terlalu ketara, lah.

Dia pikir yang tadi udah paling aneh, tapi bagian anehnya dateng belakangan,

“Ayo balik ke kelas.”

“Sep, gue boleh ngomong dulu ngga sama lo?”

Apalagi ini?! (Alunan musik menegangkan)

Wonwoo udah pasang mimik wajah paling membingungkan versinya. Kalau-kalau aja dia nggak tahu Rowoon simpan hati buatnya, kalau-kalau aja dia lagi nggak PDKT sama Mingyu. Mungkin pilih salah satu dari keduanya jadi nggak masalah.

Masalahnya disini adalah dia dihadapkan situasi yang enggak memungkinkan dia pilih salah satu. Jadinya dengan kapasitas berpikir seadanya, Wonwoo pilih jalan terakhir.

Kakinya malah jalan kearah Eunwoo yang nggak punya kesiapan apa-apa, tapi yang Wonwoo lakukan justru, “EH KOK PINGSAN?!”

Pura-pura pingsan di depan Eunwoo......

Yasudahlah, masalah malu dia taruh paling belakang. Yang penting, dia nggak harus milih antara Rowoon atau Mingyu. Karena kalau dipilih jawabannya selalu pilihan yang lain. (Re: kabur dari masalah versinya)

Kalau bicara siapa yang siap untuk rintangan selanjutnya, Wonwoo sudah ngibrit kembali ke garis start dan pura-pura tidak tahu apa-apa. Dalam kasus ini adalah keputusannya untuk mengikuti Mingyu dan jalan ke Mall. Okay, dalam pemikirannya semua akan berjalan mulus dan seperti biasanya saja, paling hanya akan dibarengi hal-hal memalukan yang tidak lain dan tidak bukan datang dari dirinya. Tapi dalam kasus hari ini adalah, kenyataan bahwa dirinya dicampakkan.

Iya, betul. Dirinya dicampakkan.

Entah bagaimana presepsi orang lain soal pergi berdua lalu dirinya sebagai subjek lain yang diajak itu tiba-tiba ditinggalkan, seorang diri, di toko buku lebih dari 1 jam. 60 menit. 3600 detik. Dan berdiri dipojok memegang buku wangsit harap-harap tidak ada staff yang akan menghampirinya dan memberinya tips tentang buku terbaik mana yang harus ia pilih.

Mengingat handphone Mingyu yang tidak berfungsi juga handphonenya yang secara tragis kehabisan baterai seperti rentetan karma yang ia dapatkan setelah merecoki Soonyoung selama 2 tahun terakhir ini. Ia yakin dengan teguh kalau saja temannya itu tahu tentang ini, namanya akan jadi abadi dalam subtweet menjengkelkan yang di tweet 1 jam sekali.

Kembali pada permasalahan, awalnya Wonwoo berinisiatif untuk memisahkan diri usai memalukan dirinya dengan sebuah kejadian ‘tidak sengaja bersaliman tangan dengan bapak satpam’ lalu ditambah lirikan Mingyu sebelumnya buat darahnya mendidih disekujur tubuhnya (dalam artian baik). Karena mungkin sempat sibuk dengan handphonenya sendiri, Wonwoo jadi kehilangan jejak Mingyu, dan disinilah ia sekarang, masih bersama buku wangsit yang ter-wrap rapi dalam pelukannya.

Kalau-kalau dia tidak ingat bahwa ia kemari menggunakan sepeda hasil doorprize itu, mungkin Wonwoo sudah beranjak pergi dan pulang, atau mungkin tidak. Ada satu sela dalam pikiranya yang memikirkan bahwa Mingyu mungkin mencarinya, atau... skenario terburuknya kembali pada paragraf pertama, ia sengaja dicampakkan. Tangannya dingin, setengah mati menahan nervous yang menghantuinya. Kalau dia masih pakai baju SMP, mungkin dia bisa jejakan kakinya pada pusat informasi dan bilang bahwa dia ditinggalkan orang tuanya. Tapi dalam kasus ini, Wonwoo sudah duduk dibangku SMA, dan lebih parahnya subjek yang harus dia sebut adalah Mingyu sebagai teman atau, uh, uhm, pacarnya?

Omong-omong karena ogah kembali diliati bocah kematian yang sibuk mondar-mandir dekat rak buku anak dipajang, Wonwoo memutuskan menaruh buku wangsit itu dan pergi dari toko buku. Menyamakan langkahnya menuju store manapun yang bersedia meminjamkannya charger, atau meminjam dari orang lain di tempat banyak orang berada. Lalu dia akan meminta tolong Rowoon atau siapapun yang bersedia menjemputnya. Itu, mungkin adalah langkah terbaik yang bisa ia pikirkan untuk sekarang.

Setelah sampai pada lantai food court tempat ia dan Mingyu sebelumnya berkunjung, Wonwoo dapatkan serangan dadakan pada pergelangan tangannya yang dimana dingin tiba-tiba menyambutnya. Karena selalu jadi orang yang siap sedia, Wonwoo baru saja akan lemparkan serangan mematikan dari kaki kanannya. Tapi, ternyata eh ternyata, yang lakukan itu adalah Mingyu yang berdiri kacau dihadapannya.

Dengan penampilan yang sedikit berbeda, Mingyu memegang pergelangan tangannya dengan kedua cup eskrim yang setengah meleleh ditangannya, peluh bercucuran tanpa ia tahu di suhu ruangan Mall yang cukup sejuk. Jaket yang sebelumnya dipakai sudah basah oleh keringat dibagian kerah.

Lalu yang paling membingungkan disini adalah dirinya sendiri, Jeon Wonwoo, yang satu jam lalu sudah hampir mengatai Mingyu dengan berbagai macam kata-kata baik karena meninggalkannya sendiri dalam keadaan yang sedikit kurang beruntung, dan tanpa ragu mengucapkan, “Mingyu?” Sembari senyum kegirangan.

“Gue cari lo kemana-mana,” Dengan suara dan napas yang tersenggal-senggal sudah jadi bukti konkret yang tunjukkan bahwa halusinasinya benar, yang seperti diketahui diatas, Wonwoo sempat berkhayal Mingyu mencarinya, ternyata itu benar adanya. Setelah mengatur napasnya dengan baik, Mingyu lantas kembali menegakkan tubuhnya, menanyainya, “Lo dimana daritadi?”

“Masih di Gramedia?” Jawabnya.

“Ya Tuhan.”

Wonwoo tidak tahu bagaimana ia harus tanggapi raut wajah Mingyu yang seperti frustasi namun memggemaskan dalam satu waktu, bagaimana dia harus berkata, ya? Ia bersyukur, namun disatu waktu sedikit khawatir.

Eskrim yang sudah sempat meleleh itu disodorkan Mingyu kearahnya, “Buat lo, tapi udah meleleh. Kalau gamau buang aja, deh. Gapapa.”

“Apaansi buang-buang makanan, gaboleh tau.” Eskrim vanilla yang sudah meleleh itu diterima dengan baik, dan langsung dimakannya. Kalau begini bagaimana bisa coba Wonwoo menolak? Dikasih eskrim dengan effort sembari mencarinya di Mall seluas ini... membayangkannya saja sudah buat dirinya tersipu malu. Yang namanya hal romantis itu tidak perlu secara gamblang beli pulau dengan uang cash, atau beli yatch seperti beli cilung di depan sekolah dengan gratis topping saus yang diencerin dalam toples.

Karena terlanjur seperti itu, Wonwoo dan Mingyu jadi makan eskrim sembari berjalan menuju keparkiran untuk pulang, mengingat jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan esok hari masih ada kegiatan ajar mengajar seperti biasa. Hal yang memalaskan sebab tidak ada hari libur dan mata pelajaran Kimia di esok hari lebih menakutkan dibanding ditinggal sendiri.

Seperti yang Wonwoo harapkan, Mingyu memang banyak bicara, seimbang dengan dirinya. Bedanya dengan dirinya adalah, Mingyu banyak bicara soal hal-hal yang tidak ia mengerti. Sedangkan dirinya, berbicara soal hal-hal tidak penting, seperti aksinya tadi saat panjat pinang dan akibatkan teman-temannya untuk memanjat dua kali.

“Iya, terus kan daripada diomelin panitia, buru-buru dah gue minta Rowoon ama Unyong buat bantuin gue manjat ulang.” Gelak tawanya paling kencang hingga menggema diparkiran Mall. Tangannya refleks memukul kecil bahu Mingyu saat sadar kejadian tadi memang menggelitik perutnya.

“Gue kalau jadi temen lo ogah disuruh manjat lagi.” Jawab Mingyu, tangannya menyodori helm.

Wonwoo menerimanya dengan baik, “Ya jangan lah. Lo pantesnya jadi pacar gue aja.” Masih dengan dirinya yang asal berbicara.

Setelah siap dengan segala hal dan tetek bengek soal safety dalam perjalanan, Wonwoo resmi berboncengan motor dengan Mingyu. Lucu sekali kalau ingat-ingat pertama kali mereka berdua berboncengan adalah saat bersama Joshua, dengan dirinya yang duduk didepan jok sambil menekuk kedua kakinya sampai kesemutan. Tapi yang namanya kesempatan itu harus diambil dalam kesempitan tanpa perhitungan, yang penting jalani aja dulu.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, akhirnya Mingyu ceritakan kronologi kejadian sebelumnya (yang Wonwoo kira dirinya dicampakkan). Ternyata oh ternyata, penyebab dan akar permasalahan dari ini semua adalah tragedi salah gandeng tangan orang. Tadinya Mingyu memang ingin ajak Wonwoo makan eskrim sembari menunggu Ibunya, berakhir salah gandeng orang dan kehilangan jejak Wonwoo. Sebenarnya kalau Mingyu langsung cari ke toko buku itu, dia akan lihat dirinya dengan versi paling tidak jelas, berdiri dengan buku wangsit dan memusuhi anak kecil yang memandangnya aneh, meskipun, iya. Wonwoo mengakuinya.

Bagian paling menguntungkan sekarang adalah Wonwoo bisa curi-curi kesempatan memegang jaket Mingyu dari belakang. Yang kalau dilihat-lihat kembali dari sudut pandang orang lain, akan terlihat seperti dua insan kasmaran yang baru saja pulang dari kencan pertamanya. Hehe, senangnya.

Karena durasi dari Mall kerumahnya nggak jauh-jauh amat, dalam 15 menit, rumahnya sudah ada didepan mata. Mingyu memakirkan motornya dekat pagar, sementara Wonwoo turun dan melepas helm untuk dikasih ke Mingyu lagi.

“Gue baru sadar lo satu komplek sama Enu.”

“Iya, tuh, rumahnya tadi belok kanan.” Telunjuknya menunjuk belokan yang sebelumnya dilewati, tangannya sedikit merapikan rambutnya yang acak-acakan.

“Yaudah gue duluan, ya.” Mingyu melambaikan tangannya.

Wonwoo menganggukkan kepalanya, ikut melambaikan tangannya. “Nanti kalau udah sampe rumah kabarin.”

“Iya, nanti pesan gue dibales ya. Jangan pake bengong dulu.” Seusainya Mingyu kembali menarik gas motornya dan berjalan menjauhi Wonwoo.

“Lah, apaan coba, ya..... Tau darimana coba kalau dia chat gue bengong 20 menit sendiri, dukun kali.” Karena dirasa Mingyu sudah mulai tidak terlihat dipandangannya, Wonwoo beranjak masuk kerumahnya, membuka pagarnya lalu kembali ditutup. Dalam langkah kakinya yang dikit lagi sampai kedepan pintu, Wonwoo merasakan ada sesuatu yang hilang.

Bukan rasanya ke Mingyu, bukan juga rasa tidak ingin jauh-jauh dari Mingyu, melainkan,

“SEPEDA GUE MASIH DIPARKIRAN MALL YA TUHAN.”

Sepedanya yang jadi asing di parkiran Mall.

Kalau bicara siapa yang siap untuk rintangan selanjutnya, Wonwoo sudah ngibrit kembali ke start awal dan pura-pura tidak tahu apa-apa. Dalam kasus ini adalah keputusannya untuk mengikuti Mingyu dan jalan ke mall. Okay, dalam pemikirannya semua akan berjalan mulus dan seperti biasanya saja, paling hanya akan dibarengi hal-hal memalukan yang tidak lain dan tidak bukan datang dari dirinya. Tapi dalam kasus hari ini adalah, kenyataan bahwa dirinya dicampakkan.

Iya, betul. Dirinya dicampakkan.

Entah bagaimana presepsi orang lain soal pergi berdua lalu dirinya sebagai subjek lain yang diajak itu tiba-tiba ditinggalkan, seorang diri, di toko buku lebih dari 1 jam. 60 menit. 3600 detik. Dan berdiri dipojok memegang buku wangsit harap-harap tidak ada staff yang akan menghampirinya dan memberinya tips tentang buku terbaik mana yang harus ia pilih.

Mengingat handphone Mingyu yang tidak berfungsi juga handphonenya yang secara tragis kehabisan baterai seperti rentetan karma yang ia dapatkan setelah merecoki Soonyoung selama 2 tahun terakhir ini. Ia yakin dengan teguh kalau saja temannya itu tahu tentang ini, namanya akan jadi abadi dalam subtweet menjengkelkan yang di tweet 1 jam sekali.

Kembali pada permasalahan tersebut, awalnya Wonwoo berinisiatif untuk memisahkan diri usai memalukan dirinya dengan sebuah kejadian ‘tidak sengaja bersaliman tangan dengan satpam gramedia’ lalu ditambah lirikan Mingyu sebelumnya buat darahnya mendidih disekujur tubuhnya (dalam artian baik). Karena mungkin sempat sibuk dengan handphonenya sendiri, Wonwoo jadi kehilangan jejak Mingyu, dan disinilah ia sekarang, masih bersama buku wangsit yang ter-wrap rapi dalam pelukannya.

Kalau-kalau dia tidak ingat bahwa ia kemari menggunakan sepeda hasil doorprize itu, mungkin Wonwoo sudah beranjak pergi dan pulang, atau mungkin tidak. Ada satu sela dalam pikiranya yang memikirkan bahwa Mingyu mungkin mencarinya, atau... skenario terburuknya kembali pada paragraf pertama, ia sengaja dicampakkan. Tangannya dingin, setengah mati menahan nervous yang menghantuinya. Kalau dia masih pakai baju SMP, mungkin dia bisa jejakan kakinya pada pusat informasi dan bilang bahwa dia ditinggalkan orang tuanya. Tapi dalam kasus ini, Wonwoo sudah duduk dibangku SMA, dan lebih parahnya subjek yang harus dia sebut adalah Mingyu sebagai teman atau, uh, uhm, pacarnya?

Omong-omong karena ogah kembali diliati bocah kematian yang sibuk mondar-mandir dekat rak buku anak dipajang, Wonwoo memutuskan menaruh buku wangsit itu dan pergi dari toko buku. Menyamakan langkahnya menuju store manapun yang bersedia meminjamkannya charger, atau meminjam dari orang lain di tempat banyak orang berada. Lalu dia akan meminta tolong Rowoon atau siapapun yang bersedia menjemputnya. Itu, mungkin adalah langkah terbaik yang bisa ia pikirkan untuk sekarang.

Setelah sampai pada lantai food court tempat ia dan Mingyu sebelumnya berkunjung, Wonwoo dapatkan serangan dadakan pada pergelangan tangannya yang dimana dingin tiba-tiba menyambutnya. Karena selalu jadi orang yang siap sedia, Wonwoo baru saja akan lemparkan serangan mematikan dari kaki kanannya. Tapi, ternyata eh ternyata, yang lakukan itu adalah Mingyu yang berdiri kacau dihadapannya.

Dengan penampilan yang sedikit berbeda, Mingyu memegang pergelangan tangannya dengan kedua cup ice cream yang setengah meleleh ditangannya, peluh bercucuran tanpa ia tahu di suhu ruangan mall yang cukup sejuk. Jaket yang sebelumnya dipakai sudah basah oleh keringan dibagian kerah.

Lalu yang paling memalukan disini adalah dirinya sendiri, Jeon Wonwoo, yang satu jam lalu sudah hampir mengatai Mingyu dengan berbagai macam kata-kata baik karena meninggalkannya sendiri dalam keadaan yang sedikit kurang beruntung, dan tanpa beban mengucapkan, “Mingyu?” Yang tanpa disadarinya sudah kacaukan 17736273 masalah yang ia tahu dari sudut pandangnya sendiri.

“Gue cari lo kemana-mana,” Dengan suara dan napas yang tersenggal-senggal sudah jadi bukti konkret yang tunjukkan bahwa halusinasinya benar, yang seperti diketahui diatas, Wonwoo sempat berhayal Mingyu mencarinya, ternyata itu benar adanya. Setelah mengatur napasnya dengan baik, Mingyu lantas kembali menegakkan tubuhnya, “Lo dimana daritadi?”

“Masih di gramedia?”

“Ya Tuhan.”

Wonwoo tidak tahu bagaimana ia harus tanggapi raut wajah Mingyu yang seperti frustasi namun memggemaskan dalam satu waktu, bagaimana dia harus berkata, ya? Ia bersyukur namun disatu waktu sedikit khawatir.

Eskrim yang sudah sempat meleleh itu disodorkan Mingyu kearahnya, “Buat lo, tapi udah meleleh. Kalau gamau buang aja, deh. Gapapa.”

“Apaansi buang-buang makanan, gaboleh tau.” Eskrim vanilla yang sudah meleleh itu diterima dengan baik, dan langsung dimakannya. Kalau begini bagaimana bisa coba Wonwoo menolak? Dikasih eskrim dengan effort sembari mencarinya di Mall seluas ini... membayangkannya saja sudah buat dirinya tersipu malu. Yang namanya hal romantis itu tidak perlu secara skeptis beli pulau dengan uang cash, atau beli yatch seperti beli cilung di depan sekolah dengan gratis topping saus yang diencerin dalam toples.

Karena terlanjur seperti itu, Wonwoo dan Mingyu jadi makan eskrim sembari berjalan menuju keparkiran untuk pulang, mengingat jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan esok hari masih ada kegiatan ajar mengajar seperti biasa. Berbicara soal sekolah, Wonwoo jadi ingat tugas matematikanya belum selesai dari 2 minggu yang lalu. Harapannya berada pada Rowoon yang semoga mau beri dirinya contekan.

Seperti yang Wonwoo harapkan, Mingyu memang banyak bicara, seimbang dengan dirinya. Bedanya dengan dirinya adalah, Mingyu banyak bicara soal hal-hal yang tidak ia mengerti. Sedangkan dirinya, berbicara soal hal-hal tidak penting, seperti aksinya tadi saat panjat pinang dan akibatkan teman-temannya untuk memanjat dua kali.

“Iya, terus kan daripada diomelin panitia, buru-buru deh gue minta Rowoon ama Unyong buat bantuin gue manjat ulang.” Gelak tawanya paling kencang hingga menggema diparkiran Mall. Tangannya refleks memukul kecil bahu Mingyu saat sadar kejadian tadi memang menggelitik perutnya.

“Gue kalau jadi temen lo ogah disuruh manjat lagi.” Jawab Mingyu, tangannya menyodori helm.

Wonwoo menerimanya dengan baik, “Ya emang, jangan lah. Lo pantesnya jadi pacar gue aja.” Masih dengan dirinya yang asal berbicara.

Setelah siap dengan segala hal dan tetek bengek soal safety dalam perjalanan, Wonwoo resmi berboncengan motor dengan Mingyu. Lucu sekali kalau ingat-ingat pertama kali mereka berdua berboncengan adalah saat bersama Joshua, dan dirinya duduk didepan jok sambil menekuk kedua kakinya sampai kesemutan. Tapi yang namanya kesempatan itu harus diambil dalam kesempitan tanpa perhitungan, yang penting jadi aja dulu.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, akhirnya Mingyu ceritakan kronologi kejadian sebelumnya (yang Wonwoo kira dirinya dicampakkan). Ternyata oh ternyata, penyebab dan akar permasalahan dari ini semua adalah tragedi salah gandeng tangan orang. Tadinya Mingyu memang ingin ajak Wonwoo makan eskrim sembari menunggu Ibunya, berakhir salah gandeng orang dan kehilangan jejak Wonwoo. Sebenarnya kalau Mingyu langsung cari ke toko buku itu, dia akan lihat dirinya dengan versi paling tidak jelas, berdiri dengan buku wangsit... Wonwoo jadi berpikir ulang kenapa ia lakukan itu sekarang.

Bagian paling menguntungkan sekarang adalah Wonwoo bisa curi-curi kesempatan memegang jaket Mingyu dari belakang. Yang kalau dilihat-lihat kembali dari sudut pandang orang lain, akan terlihat seperti dua insan kasmaran yang baru saja pulang dari kencan pertamanya. Hehe.

Karena durasi dari Mall kerumah nggak jauh-jauh amat, dalam 15 menit, rumahnya sudah ada didepan mata. Mingyu memakirkan motornya dekat pagar, sementara Wonwoo turun dan melepas helm untuk dikasih ke Mingyu lagi.

“Gue baru sadar lo satu komplek sama Enu.”

“Iya, tuh, rumahnya tadi belok kanan.” Telunjuknya menunjuk belokan yang sebelumnya dilewati, tangannya sedikit merapikan rambutnya yang acak-acakan.

“Yaudah gue duluan, ya.” Mingyu melambaikan tangannya.

Wonwoo menganggukkan kepalanya, “Nanti kalau udah sampe kabarin.”

“Iya, nanti pesan gue dibales ya. Jangan pake bengong dulu.” Seusainya Mingyu kembali menarik gas motornya dan berjalan menjauhi Wonwoo.

“Lah, apaan coba, ya.....” Karena dirasa Mingyu sudai mulai tidak terlihat dipandangannya, Wonwoo beranjak masuk kerumahnya, membuka pagarnya lalu kembali ditutup. Dalam langkah kakinya yang dikit lagi sampai kedepan pintu, Wonwoo merasakan ada sesuatu yang hilang.

Bukan rasanya ke Mingyu, bukan juga rasa tidak ingin jauh-jauh dari Mingyu, melainkan,

“SEPEDA GUE MASIH DIPARKIRAN MALL YA TUHAN.”

Sepedanya yang jadi asing di parkiran Mall.

-

Hal pertama yang dilakukan Wonwoo adalah menangis dalam lubuk hatinya. Atau, kalau bisa dia akan balik menggoes sepedanya menuju rumah.

Tapi yang paling buruk adalah kenyataan jika langkah kakinya justru yang pertama kali mempertemukan dirinya dengan sosok Mingyu bersama... ekhem, ibunya.

Dengan tubuh yang dibasahi keringat dingin, Wonwoo berangsur mendekat. Lututnya sudah lemas, dan kemungkinan paling buruk adalah dia terjatuh terguling sampai rumahnya.

Jangan bercanda, Wonwoo. Rapalnya, dalam hati.

Tapi, seringkali, dia suka bercanda soal kehidupannya sendiri. Seperti sekarang,

“Halo, nak Wonwoo, ya?” Ibu Mingyu menjadi orang pertama yang menyapanya, dengan tangan setengah gemetar Wonwoo menyalimi tangan Ibu Mingyu sebagai ‘langkah-pertama-menjadi-menantu-yang-baik.’

Yah, kan, namanya juga usaha...

Mungkin karena melihat peluhnya yang bercucuran dari dahi sebab menggoes sepedanya, Ibu Mingyu kini mulai bertanya, “Nak Wonwoo kesini naik apa?”

“Oh, itu, anu...” Mata Wonwoo sedikit panik melihat kearah Mingyu yang meninggalkannya, “.... naik sepeda, tante. Hehe.”

Kalau bisa menilai, sepertinya Ibunya Mingyu tidak terlalu terkejut. “Nak Wonwoo suka naik sepeda, ya? Bagus, dong..... buat kesehatan, dan banyak manfaatnya. Cita-citanya jadi atlet, kah?”

“Cita-cita saya jadi menantu yang baik, tante.” Penginnya, sih, begitu. Tapi tenang, Itu semua hanya dalam angannya saja, kok. Semua harap tenang, karena Wonwoo akan tunjukan imagenya yang baik kali ini.

“Iya dong, tante. Saya kalau berangkat-pulang sekolah aja naik sepeda, supaya sehat. Terus, karena cita-cita saya jadi atlet.”

Kata, seorang yang mengeluh saat pertama kali bawa sepeda dan rutin berolahraga saat ada mata pelajarannya saja. Seringkali, memang berbohong agak ada untungnya juga.

“Kalau boleh tahu, Nak Wonwoo mau jadi atlet apa?”

“Atlet panahan, tante.” Wonwoo menggaruk leher belakangnya, canggung. “Memanah hati anak tante.” Diakhir kalimatnya, matanya mengedip kearah Mingyu.

Oh, ini yang katanya ‘ingin menjaga image’.... penonton, kita baiknya sudah tidak kaget lagi, bukan?

Ibu Mingyu itu mungkin adalah tipe ibu-ibu sosialita baik hati yang menimpali jokes jelek Wonwoo dengan tawa kecil. Dia tampak seperti, menghargai Wonwoo yang sedikit effort melucu sekaligus meminta restu.

Rupa-rupanya yang sedari tadi dilupakan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mingyu, mulai menampakan dirinya diantara mereka.

Tangannya dengan respon cepat memegang tangan Wonwoo. “Bun, Mingyu ke food court dulu, ya. Laper belum makan dari siang.” Begitu katanya.

Aduh, Mingyu tidak sadar ya Wonwoo sudah merasakan lututnya kembali lemas karena dipegang seperti itu.

Anggukan menjadi jawaban dari Ibu Mingyu, “Iya, kamu makan dulu sana. Nanti baru samper Bunda ke iBox. Kamu masih pegang uang ‘kan?”

“Iya, Bun.”

Setelahnya mereka berpisah. Mingyu menariknya naik ke ekskalator dengan tangannya yang masih menggengam tangan Wonwoo.

Sungguh, kalau ini bercanda, ini benar-benar tidak lucu, sih. Wonwoo sudah baper sampai tidak berkutik seperti sekarang.

Padahal, kemungkinan lainnya adalah Mingyu tidak ingin Wonwoo berbicara ngawur lebih banyak dengan Ibunya. Tapi, mari kita urus itu nanti. Yang penting kali ini Wonwoo senang.

Urusan bahagia pemeran utama itu nomor satu.

“Mau makan apa?”

Dan yang paling lucu kali ini adalah saat Wonwoo benar-benar tidak terarah dan termenung sepanjang langkahnya.

“Apa aja.” Singkatnya.

“Sushi?”

“Gue gabisa makan Seafood.”

“Ramen?”

“Mau makan nasi.”

“Paper lunch?”

“Gamau....”

Bayangkan, ada di posisi Mingyu sekarang.

“Yaudah, lo maunya apa?”

“Terserah.”

Tapi, memang dasarnya Mingyu sudah terlatih kesabarannya atau malas berdebat lebih panjang dengan orang yang tidak habis bahan bicaranya. Tangan Mingyu yang masih menggenggam tangan Wonwoo kini kembali menarik ke satu stand penjual gulali warna-warni. Bentuknya lebih besar, dan bervariatif dibandingkan gulali pasar malam yang bikin batuk 3 hari.

Entah apa yang dipikirkan Mingyu sampai membawanya kesini, Wonwoo menarik senyumnya saat matanya melihat jejeran gulali yang sudah dibentuk di etalase.

Pegawai dengan tubuh tinggi itu yang menyapa mereka paling pertama, kurang lebih tingginya sama seperti Mingyu. Dengan bonus, ketampanannya yang haduh bikin mata tidak bisa berpaling.

Mingyu terlihat sedang melihat gulali apa yang akan ia beli. Sedangkan, Wonwoo sibuk melancarkan aksinya, seperti;

“Mas, gulali bentuk orang tari poco-poco ada gak, ya?” Tanya Wonwoo.

“Maaf, nggak ada, kak.”

“Kalau nomor telepon ada?”

“Ada.” Pegawai yang diajak Wonwoo itu sedikit tersipu dan gugup saat mengerti arti ucapannya, temannya dibelakang ikut sedikit menyenggol tubuhnya.

Yang diejek justru tertawa karena membanggakan dirinya yang terus berkembang ide menggombalnya. Wonwoo siap buka webinar, ‘kiat membuat pacarmu tersipu dalam 2 kali percobaan’ bermimpi saja dulu.

Karena agak sedikit diabadaikan untuk yang kedua kalinya, Mingyu lantas langsung memilih satu gulali berbentuk kucing berwarna oranye untuk dibeli. Dengan genggaman tangannya yang semakin mengerat.

Hayolo..... aduh, ini semacam tanda-tanda, ya?

Tanda-tanda cemburu kepalang gengsi.

“Hehe, makasih ya, Mas.” Wonwoo yang mengambil alih gulali yang sudah dibungkus plastik itu dengan tangan kanannya, masih dengan senyum dan modus yang sama, “Kalau nomor teleponnya, giman—”

Ups, Wonwoo sudah keburu ditarik sama Mingyu untuk kembali jalan. Padahal Wonwoo kan niatnya baik, mempererat tali persudaraan sesama manusia. Meskipun tidak tahu, kalau yang disampingnya sudah terbakar api cemburu (sepertinya).

Oh ya, omong-omong soal itu. Kini, Wonwoo seperti ditarik untuk berjalan lebih cepat.

“Gyu, gue pengen makan dulu boleh, nggak?” Satu kali, diabaikan.

“Gyu, pengen makan, bentar.” Dua kali, dan masih diabaikan.

“Gyu, Mas gulali tadi ganteng, ya.”

Dan, yang ketiga kalinya, dahi Wonwoo berhasil menabrak punggung Mingyu.

“Anjing.” Cicit Wonwoo, kaget.

“Jangan.”

Wonwoo mengenyitkan dahinya, tidak mengerti atas ucapan Mingyu yang mendadak. Dalam hatinya, dia masih ingin berkata kasar karena dahinya agak sedikit sakit pasca terbentur dengan punggung Mingyu.

Di depannya, Mingyu menghela napasnya, dan membalikkan tubuhnya. Mata cokelat itu benar mendominasi tiap gerak tubuhnya, “Nomor telepon gue aja.” Katanya.

Sejujurnya, Wonwoo mungkin akan masuk nominasi orang paling tidak peka sebab otaknya yang susah menerima sinyal baik soal perasaan.

Tapi kali ini, rasanya Wonwoo ingin ajak teman-temannya untuk syukuran dan acara tumpengan satu RW. Karena, jujur, Wonwoo mengerti semua perkataan singkat lawan bicaranya.

Mingyu cemburu!

-

Wonwoo selalu cepat merasa bosan, atas hal apapun. Termasuk menunggu Mingyu selama 25 menit 37 detik diparkiran pasca insiden dikejar anak futsal yang berujung baik-baikkan. Tapi memang salahnya sih, mereka lagi main, dan Wonwoo tanpa rasa bersalah lewat tengah lapangn pakai sepedanya.

Kali-kali ia juga pengin pamer!

Dari arah utara (kalau tidak salah) Wonwoo melihat Mingyu dengan tubuhnya yang menjulang tinggi itu menggunakan jaket hijau, dia sedikit berlari kearahnya.

Langit, Mingyu yang tampan itu.... akan selalu memanjakan mata Wonwoo.

“Lo udah lama nunggunya?” Merupakan kalimat basa-basi yang dilemparkan Mingyu saat berada dihadapannya yang duduk diatas sepeda, suara napasnya menggebu setelah berlari. “Lo nggak pake seragam?” Mata Mingyu menelisik pakaiannya.

“Nggak. Seragam upacara tadi di ambil Rowoon, terus baju olahraga gue, kotor penuh tanah.” Jawabnya. Wonwoo tidak bisa melepas pandangannya dari Mingyu. Kalau diibaratkan Mingyu itu adalah.... apapun yang pastinya, suatu hal yang Wonwoo suka.

Omong-omong, kali ini Mingyu sudah menawarkannya satu helm. “Dipake.” Katanya, “Nanti lo pegang aja sepedanya bisa ‘kan?”

“Mingyu, lu bercanda kan?”

“Ya nggak?”

“Pasti bercanda...”

“Nggak?” Mingyu memasang wajahnya yang bingung. “Atau, kalau nggak, lo yang bawa motornya nggak apa-apa.”

Karena dibegitukan Wonwoo jadi menghela napasnya melihat motor Mingyu itu..... “Sebelum gue bawa motor lo, kita harus milih destinasi dulu.” Boro-boro naik motor itu, naik beat saja Wonwoo jatuh bersama Soonyoung. “Kita mau kerumah sakit mana?”

Iya benar, Wonwoo bisa bawa motor. Tapi cuma motor beat kecil yang umurnya sudah lewat karena pernah jatuh di chapter awal.

Akhirnya, Wonwoo menghela dan mengiyakan ajakan Mingyu. Siap-siap kakinya keram 3 hari, karena membawa sepeda sebesar itu... huhu, dalam hati, dia sudah menangis.