semua aku dirayakannya
ini aselinya bayaran hutang ngga update mau 2 tahun…. aku terinspirasi buat tulisan ini waktu dengar Semua Aku Dirayakan by Nadin Amizah, sekaligus mengobati rasa kangen sekaligus iri liat dua sejoli ini saling jatuh cinta. akan ada banyak tanda tanya yang nantinya akan aku selesain dengan update AU-nya, jadi anggep aja tulisan ini adalah welcome guide sebelum kembali masuk ke hubungan yang seru ini! (lebih ke pusing) hope you guys enjoy it :P
-
Wonwoo tahu dan hafal bagaimana rasanya sepi menggerogoti dirinya dalam sunyi yang hanya ada dirinya disana. Ia digerogoti, dan terdiam. Sepanjang kehidupannya, berpikir bahwa ia pantas untuk menerima semua ini adalah bagian paling menyulitkan batinnya.
Angin sepoi bulan Juni menjadi awal kesibukan kantornya, ia pulang larut, lembur. Wonwoo tidak pulang ke rumah 2 hari berturut-turut. Matanya bergulir pada jarum jam yang menunjukkan pukul 8 kurang, dengan lelah yang mendera tubuhnya dari atas sampai bawah kepalanya mampu membuat Wonwoo duduk lunglai pada kursinya. Matanya terpejam sejenak setelahnya, huft, ia tidak bisa terus melanjutkan hidupnya seperti ini. Berantakan, dan tidak terarah.
Dalam ruangan editor yang hanya ada dirinya disana, kacamatanya sudah menggantung di dekat kerah bajunya. Pada hitungan ke-3 matanya sudah bisa terpejam dan Wonwoo dengan lelah sebesar itu mampu tertidur diatas meja kerjanya sampai besok pagi datang menjemputnya, kalau saja ponsel disampingnya tidak tiba-tiba berdering, menandakan seorang menelponnya.
Dengan nada dering khasnya, Wonwoo tidak perlu menerka siapa yang mendial nomornya kali ni ini. Tanpa basa-basi ia angkat teleponnya tanpa menggerakkan tubuhnya, “Halo.”
“Kamu nggak pulang?”
“Hmm, nggak tau.” Jawabnya singkat. “Lampu rumah nyala nggak?”
“Nyala, kan ada bunda kamu.”
“Yaudah, aku enggak pulang.”
Seusai mulutnya berucap seperti itu, selanjutnya Wonwoo sudah tau apa yang akan diucapkan, diungkit, dan dibicarakan dalam satu tarikan nafas diseberang sana. Wonwoo kamu pasti belum makan, kamu ada gerd, kamu nggak bisa kecapean….
Lalu diakhiri dengan, “Aku udah dibawah, bos, cepet sini.”
Lelakinya yang tidak bisa ditebak selalu bekerja 1000 kali lebih cepat dibanding otaknya.
Yang Wonwoo lakukan selanjutnya adalah dengan segera merapikan segala barangnya, ia akan pulang, ke rumahnya. Wonwoo akan pulang untuk istirahatkan sejenak tubuhnya, pikirannya, juga berbagi banyak ceritanya hari ini. Lift kantor yang sepi, juga lorong yang hanya diterangi remang lampu menemaninya sampai di parkiran.
Yang ditujunya sudah sibuk bolak-balik beri ia lampu dim, seolah lupa bahwa Wonwoo sudah hafal mobil itu sampai ke bagian penyoknya. Sungguh, Mingyu itu memang punya banyak cara aneh yang lucu. Wonwoo berlari kecil saat seorang didalam sana sudah kembali sibuk dadah-dadah lewat jendela mobil yang dibuka. Norak, ejeknya.
Wonwoo buka pintu mobil disamping kemudi dengan ekspetasinya yang bisa langsung dudukan tubuhnya dengan nyaman, bukannya merasakan dengan debaran aneh tatkala matanya malah melihat Mingyu dengan baju santainya kini memegang buket bunga besar kearahnya.
Iya, Mingyu pegang buket bunga.
“Kamu ngapain…?” Wonwoo tidak tahu apakah pertanyaan itu masuk akal bila ditanyakan, tapi otaknya sungguh berhenti sejenak.
Yang ditanya cuma cengar-cengir, “Buat kamu, bos.” Tangan panjangnya menyodorkan buket bunga itu kearah Wonwoo yang masih terdiam didepan pintu, lebih anehnya dia terima saja lagi. “Wih, bunganya lebih cakep kalau kamu yang pegang ternyata.”
Mingyu mengeluarkan ponselnya, dan lantas mengambil gambar dirinya yang masih setengah tidak sadar. Wonwoo yakin 100% mukanya terlihat bodoh di foto itu. Mingyu juga anehnya baru sadar kalau pacarnya itu masih terkejut dengan segala hal yang tiba-tiba itu.
“Kamu kok enggak naik si?” Begitu lantas pertanyaanya.
“Aku bingung.”
“Kenapa bingung?”
“Emang hari ini tanggal 17 Juli ya?”
“Sekarang masih Mei, sayang.”
“Terus kenapa kamu kasih aku bunga? Kan aku enggak ulang tahun? Anniversary kita juga masih lama?”
“Buset, banyak banget itu pertanyaannya, bisa dijawab nanti gak kalau kamu udah masuk dan duduk disamping aku?”
Karena lantas menyadari perbuatannya yang sedikit bodoh, Wonwoo langsung ambil posisi paling nyaman dan peluk buket bunga itu dalam pangkuannya.
“Sekarang jawab.”
“Pake dulu seatbeltnya, bos.”
“Tapi abis ini kamu jawab, ya.”
“Iya napa, kaya punya trust issue gede aja ini.”
“Emang.”
“Bjir.”
Sudah begitu pun, Mingyu masih cekikikan, tidak mau jawab pertanyaanya.
Masih kekeh tidak mau jawab, Mingyu kini malah keluarkan satu kotak bekal, yang waktu dibuka rupanya isi kotak itu adalah bento alakadarnya. Nasi yang dikepal-kepal asal hingga berbentuk kucing yang kumisnya dibuat dari nori yang asimetris, juga….kupingnya yang terbuat dari jamur? Karena terlupa akan pertanyaannya tadi, Wonwoo gantian menggelakan tawanya. Ia tahu persis, itu pasti buatan Mingyu!
“Woi, ini aku balikin bento nasi bentuk anjing yang kamu kasih ke aku hari senin.” Pacarnya sudah siap-siap menekuk bibirnya kebawah, memang tipikal dramatis, sih.
“Muka kucingnya bloon banget.” Sudah tahu begitu pun, Wonwoo masih tertawa sampai air matanya keluar.
Oh, tentu saja, aries satu itu sudah menekuk bibirnya, cemberut. Nasi kucing bloon itu, sudah dicampur-campur sampai tidak terbentuk. Wonwoo yang lihat sedikit kecewa, “Eh aku belum foto muka kucing bloonnya!” Dengan tawanya yang tidak mau berhenti.
“Besok-besok aku engga mau masak ginian lagi, langsung aku bawain tumpeng aja.”
“Ih ngambek.”
“Enggak ya,” oh, rupanya benar ngambek… “Sini buka mulutnya, aku suapin biar kamu makan.” Satu suapan tiba-tiba saja diberi Mingyu didepan mulutnya yang ia terima dengan baik.
Satu kecapan. Dua kecapan.
“Wow, ini perkedel Ibu, ya?”
“Iya, bos. Mantap, kan? Aku udah habis satu piring tadi.”
Wonwoo cuma mengangguk, sampai ia lagi dan lagi disuapi Mingyu.
“Terus bagian mana yang kamu masak?”
“Sorry ya mengecewakan, tapi aku team menghias aja.”
“Oh, pantes bener bentuk kucingnya bloon banget.”
Tawanya masih lanjut sampai perutnya sakit, Mingyu juga tidak mengelak lagi, ia cuma ngambek sedikit. Mungkin dalam hatinya diam-diam setuju kalau kucing buatannya itu sedikit jelek. Tapi sedikit, ya.
“Makan kaya anak kecil banget, ih.” Mingyu mengusap dengan baik bibir Wonwoo menggunakan tisu saat makanan dalam kotak bekal itu habis dalam waktu kurang dari 5 menit. Wonwoo senyum-senyum, dikitnya karena masih teringat kucing buatan Mingyu, banyaknya karena Mingyu ternyata adalah rumah pulang terbaiknya.
“Makasih ya, Mingyu.”
“Iya, sayanggggg. Terima kasih kembali.”
“Makanannya enak kok, aku kenyang, dan happy.”
“Seneng aja apa seneng banget?”
Wonwoo mencubit perut Mingyu usil.
“Seneng banget, lah. Aku dijemput pacar aku, terus disuapin bekal, habis itu dikasih bunga ini.”
Mingyu tersenyum, ia miringkan tubuhnya agar hadap kearah Wonwoo. “Kamu tahu engga kenapa aku kasih kamu bunga?”
“Ada sesuatu yang aku lewatin..???”
“Enggak, sayang.”
“Terus?”
“Soalnya bunga-bunga itu cantik kalau dipegang kamu.” Mingyu tersenyum sembari memegang tangannya, mengusapnya penuh kasih sayang. “Dari kemarin aku sibuk perhatiin bunga itu tiap pulang kantor, aku tanya-tanya bapaknya, “Pak, ini namanya bunga apa? Artinya apa? Bapaknya siapa? Ibunya siapa? Alamatnya dimana? Pakai bibit apa?” sampai kesampean ngopi bareng. Terus aku beli deh hari ini. Sekalian aja, soalnya aku mau ngerayain malem ini ternyata kamu masih sama cintanya ke aku kaya kemarin.”
Selama beberapa tahun kebelakang, Wonwoo tidak pernah menganggap cinta sebagai kebutuhan yang utuh. Yang ia tahu cinta hanyalah hal abstrak yang buatnya menghabiskan waktunya jadi sia-sia. Yang Wonwoo remaja tahu kala itu hanyalah eksistensi Mingyu yang selalu menjadi pilar dalam kehidupannya. Bahwa ia percayakan segala hal dalam dirinya kepada bocah ingusan 18 tahun yang baru saja dapat SIM motornya.
Wonwoo akan selalu mempercayai Mingyunya sebanyak ia memohon dalam tiap malamnya agar beri ia satu hari esok agar tetap bersama Mingyunya. Wonwoo yang pegang kendali atas dirinya sendiri, untuk mencintai dan dicintai sebegitu dalamnya oleh Mingyu adalah hal lainnya yang tidak dipertanyakan. Ia akan selalu mencintainya, ia akan selalu mempercayainya lebih dari apapun didunia ini.
“Makasih, ya.”
“Iya, Wonwooku.”
Satu pelukan hangat datang kembali ke relungnya yang kedinginan, yang penuh kesedihan. Ia takut dicintai sebanyak ini, tapi Mingyu buktikan bahwa ia mampu dan pantas untuk banyak dicintai sebanyak ini.
Wonwoo akan selalu menangis, akan selalu marah, akan selalu tertawa, akan selalu bagi dua bebannya dalam pundak Mingyu. Sebegitu cintanya ia, hingga Wonwoo tidak lagi pedulikan banyak hal lain disekitarnya.
Mingyu akan selalu merayakannya. Setiap langkah kecil kakinya, Mingyu akan rayakan untuknya. Hingga Wonwoo merasa bahwa ia pantas dicintai sebegitu banyaknya.
“Makasih ya, Mingyu. Makasih.”
“Makasih mulu kaya sales mobil.”
“Hoi, ganggu moment romantis aja!”
“Iya, maaf….. Habis kalau kaya gini selanjutnya kamu bakal feeling unwhorty….”
“Ngapain? Kan aku punya kamuuuu.”
“AAAAA SERIUS INI AKU DIGOMBALIN???”
Wonwoo hanya mau Mingyu tahu, bahwa ia akan selalu mencintainya, dua kali lipat lebih banyak dibandingkan yang lainnya.