Tragedi Toko Buku.
Kalau bicara siapa yang siap untuk rintangan selanjutnya, Wonwoo sudah ngibrit kembali ke garis start dan pura-pura tidak tahu apa-apa. Dalam kasus ini adalah keputusannya untuk mengikuti Mingyu dan jalan ke Mall. Okay, dalam pemikirannya semua akan berjalan mulus dan seperti biasanya saja, paling hanya akan dibarengi hal-hal memalukan yang tidak lain dan tidak bukan datang dari dirinya. Tapi dalam kasus hari ini adalah, kenyataan bahwa dirinya dicampakkan.
Iya, betul. Dirinya dicampakkan.
Entah bagaimana presepsi orang lain soal pergi berdua lalu dirinya sebagai subjek lain yang diajak itu tiba-tiba ditinggalkan, seorang diri, di toko buku lebih dari 1 jam. 60 menit. 3600 detik. Dan berdiri dipojok memegang buku wangsit harap-harap tidak ada staff yang akan menghampirinya dan memberinya tips tentang buku terbaik mana yang harus ia pilih.
Mengingat handphone Mingyu yang tidak berfungsi juga handphonenya yang secara tragis kehabisan baterai seperti rentetan karma yang ia dapatkan setelah merecoki Soonyoung selama 2 tahun terakhir ini. Ia yakin dengan teguh kalau saja temannya itu tahu tentang ini, namanya akan jadi abadi dalam subtweet menjengkelkan yang di tweet 1 jam sekali.
Kembali pada permasalahan, awalnya Wonwoo berinisiatif untuk memisahkan diri usai memalukan dirinya dengan sebuah kejadian ‘tidak sengaja bersaliman tangan dengan bapak satpam’ lalu ditambah lirikan Mingyu sebelumnya buat darahnya mendidih disekujur tubuhnya (dalam artian baik). Karena mungkin sempat sibuk dengan handphonenya sendiri, Wonwoo jadi kehilangan jejak Mingyu, dan disinilah ia sekarang, masih bersama buku wangsit yang ter-wrap rapi dalam pelukannya.
Kalau-kalau dia tidak ingat bahwa ia kemari menggunakan sepeda hasil doorprize itu, mungkin Wonwoo sudah beranjak pergi dan pulang, atau mungkin tidak. Ada satu sela dalam pikiranya yang memikirkan bahwa Mingyu mungkin mencarinya, atau... skenario terburuknya kembali pada paragraf pertama, ia sengaja dicampakkan. Tangannya dingin, setengah mati menahan nervous yang menghantuinya. Kalau dia masih pakai baju SMP, mungkin dia bisa jejakan kakinya pada pusat informasi dan bilang bahwa dia ditinggalkan orang tuanya. Tapi dalam kasus ini, Wonwoo sudah duduk dibangku SMA, dan lebih parahnya subjek yang harus dia sebut adalah Mingyu sebagai teman atau, uh, uhm, pacarnya?
Omong-omong karena ogah kembali diliati bocah kematian yang sibuk mondar-mandir dekat rak buku anak dipajang, Wonwoo memutuskan menaruh buku wangsit itu dan pergi dari toko buku. Menyamakan langkahnya menuju store manapun yang bersedia meminjamkannya charger, atau meminjam dari orang lain di tempat banyak orang berada. Lalu dia akan meminta tolong Rowoon atau siapapun yang bersedia menjemputnya. Itu, mungkin adalah langkah terbaik yang bisa ia pikirkan untuk sekarang.
Setelah sampai pada lantai food court tempat ia dan Mingyu sebelumnya berkunjung, Wonwoo dapatkan serangan dadakan pada pergelangan tangannya yang dimana dingin tiba-tiba menyambutnya. Karena selalu jadi orang yang siap sedia, Wonwoo baru saja akan lemparkan serangan mematikan dari kaki kanannya. Tapi, ternyata eh ternyata, yang lakukan itu adalah Mingyu yang berdiri kacau dihadapannya.
Dengan penampilan yang sedikit berbeda, Mingyu memegang pergelangan tangannya dengan kedua cup eskrim yang setengah meleleh ditangannya, peluh bercucuran tanpa ia tahu di suhu ruangan Mall yang cukup sejuk. Jaket yang sebelumnya dipakai sudah basah oleh keringat dibagian kerah.
Lalu yang paling membingungkan disini adalah dirinya sendiri, Jeon Wonwoo, yang satu jam lalu sudah hampir mengatai Mingyu dengan berbagai macam kata-kata baik karena meninggalkannya sendiri dalam keadaan yang sedikit kurang beruntung, dan tanpa ragu mengucapkan, “Mingyu?” Sembari senyum kegirangan.
“Gue cari lo kemana-mana,” Dengan suara dan napas yang tersenggal-senggal sudah jadi bukti konkret yang tunjukkan bahwa halusinasinya benar, yang seperti diketahui diatas, Wonwoo sempat berkhayal Mingyu mencarinya, ternyata itu benar adanya. Setelah mengatur napasnya dengan baik, Mingyu lantas kembali menegakkan tubuhnya, menanyainya, “Lo dimana daritadi?”
“Masih di Gramedia?” Jawabnya.
“Ya Tuhan.”
Wonwoo tidak tahu bagaimana ia harus tanggapi raut wajah Mingyu yang seperti frustasi namun memggemaskan dalam satu waktu, bagaimana dia harus berkata, ya? Ia bersyukur, namun disatu waktu sedikit khawatir.
Eskrim yang sudah sempat meleleh itu disodorkan Mingyu kearahnya, “Buat lo, tapi udah meleleh. Kalau gamau buang aja, deh. Gapapa.”
“Apaansi buang-buang makanan, gaboleh tau.” Eskrim vanilla yang sudah meleleh itu diterima dengan baik, dan langsung dimakannya. Kalau begini bagaimana bisa coba Wonwoo menolak? Dikasih eskrim dengan effort sembari mencarinya di Mall seluas ini... membayangkannya saja sudah buat dirinya tersipu malu. Yang namanya hal romantis itu tidak perlu secara gamblang beli pulau dengan uang cash, atau beli yatch seperti beli cilung di depan sekolah dengan gratis topping saus yang diencerin dalam toples.
Karena terlanjur seperti itu, Wonwoo dan Mingyu jadi makan eskrim sembari berjalan menuju keparkiran untuk pulang, mengingat jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan esok hari masih ada kegiatan ajar mengajar seperti biasa. Hal yang memalaskan sebab tidak ada hari libur dan mata pelajaran Kimia di esok hari lebih menakutkan dibanding ditinggal sendiri.
Seperti yang Wonwoo harapkan, Mingyu memang banyak bicara, seimbang dengan dirinya. Bedanya dengan dirinya adalah, Mingyu banyak bicara soal hal-hal yang tidak ia mengerti. Sedangkan dirinya, berbicara soal hal-hal tidak penting, seperti aksinya tadi saat panjat pinang dan akibatkan teman-temannya untuk memanjat dua kali.
“Iya, terus kan daripada diomelin panitia, buru-buru dah gue minta Rowoon ama Unyong buat bantuin gue manjat ulang.” Gelak tawanya paling kencang hingga menggema diparkiran Mall. Tangannya refleks memukul kecil bahu Mingyu saat sadar kejadian tadi memang menggelitik perutnya.
“Gue kalau jadi temen lo ogah disuruh manjat lagi.” Jawab Mingyu, tangannya menyodori helm.
Wonwoo menerimanya dengan baik, “Ya jangan lah. Lo pantesnya jadi pacar gue aja.” Masih dengan dirinya yang asal berbicara.
Setelah siap dengan segala hal dan tetek bengek soal safety dalam perjalanan, Wonwoo resmi berboncengan motor dengan Mingyu. Lucu sekali kalau ingat-ingat pertama kali mereka berdua berboncengan adalah saat bersama Joshua, dengan dirinya yang duduk didepan jok sambil menekuk kedua kakinya sampai kesemutan. Tapi yang namanya kesempatan itu harus diambil dalam kesempitan tanpa perhitungan, yang penting jalani aja dulu.
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, akhirnya Mingyu ceritakan kronologi kejadian sebelumnya (yang Wonwoo kira dirinya dicampakkan). Ternyata oh ternyata, penyebab dan akar permasalahan dari ini semua adalah tragedi salah gandeng tangan orang. Tadinya Mingyu memang ingin ajak Wonwoo makan eskrim sembari menunggu Ibunya, berakhir salah gandeng orang dan kehilangan jejak Wonwoo. Sebenarnya kalau Mingyu langsung cari ke toko buku itu, dia akan lihat dirinya dengan versi paling tidak jelas, berdiri dengan buku wangsit dan memusuhi anak kecil yang memandangnya aneh, meskipun, iya. Wonwoo mengakuinya.
Bagian paling menguntungkan sekarang adalah Wonwoo bisa curi-curi kesempatan memegang jaket Mingyu dari belakang. Yang kalau dilihat-lihat kembali dari sudut pandang orang lain, akan terlihat seperti dua insan kasmaran yang baru saja pulang dari kencan pertamanya. Hehe, senangnya.
Karena durasi dari Mall kerumahnya nggak jauh-jauh amat, dalam 15 menit, rumahnya sudah ada didepan mata. Mingyu memakirkan motornya dekat pagar, sementara Wonwoo turun dan melepas helm untuk dikasih ke Mingyu lagi.
“Gue baru sadar lo satu komplek sama Enu.”
“Iya, tuh, rumahnya tadi belok kanan.” Telunjuknya menunjuk belokan yang sebelumnya dilewati, tangannya sedikit merapikan rambutnya yang acak-acakan.
“Yaudah gue duluan, ya.” Mingyu melambaikan tangannya.
Wonwoo menganggukkan kepalanya, ikut melambaikan tangannya. “Nanti kalau udah sampe rumah kabarin.”
“Iya, nanti pesan gue dibales ya. Jangan pake bengong dulu.” Seusainya Mingyu kembali menarik gas motornya dan berjalan menjauhi Wonwoo.
“Lah, apaan coba, ya..... Tau darimana coba kalau dia chat gue bengong 20 menit sendiri, dukun kali.” Karena dirasa Mingyu sudah mulai tidak terlihat dipandangannya, Wonwoo beranjak masuk kerumahnya, membuka pagarnya lalu kembali ditutup. Dalam langkah kakinya yang dikit lagi sampai kedepan pintu, Wonwoo merasakan ada sesuatu yang hilang.
Bukan rasanya ke Mingyu, bukan juga rasa tidak ingin jauh-jauh dari Mingyu, melainkan,
“SEPEDA GUE MASIH DIPARKIRAN MALL YA TUHAN.”
Sepedanya yang jadi asing di parkiran Mall.